Pages

Sabtu, 28 Februari 2015

Cerpen Fiksi


Kota Tanpa Suara

“Tempat apa ini?”, itulah kalimat pertama yang ku ucapkan saat aku tersadar dari hitam yang membelengguku selama ini. Ruangan ini sangat sempit, aku hampir tidak bisa bernafas. Aku meraba di sekelilingku. Lalu, seberkas cahaya di depanku menghentikan semua kegiatan yang sedang ku lakukan. Perlahan, aku mulai berjalan menuju sumber cahaya sambil meraba tembok yang ada di sampingku. Tembok tersebut terasa dingin di telapak tanganku.

Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya aku keluar dari lorong gelap tempatku berdiam selama ini. Cahaya itu tidak begitu terang, namun lebih baik daripada tanpa cahaya sama sekali. Aku berputar-putar dan memeriksa sekelilingku. Aku merasakan ada yang aneh di tempat ini. Namun, aku tidak membiarkan perasaan itu mengganguku. Rasa ingin tahu mengalahkan semua perasaan itu.

Aku mulai berjalan lurus melewati puing-puing dari suatu bangunan. Dilihat dari ukiran dan batu permata yang menghiasi puing-puing bangunan tersebut, pasti dulunya bangunan ini milik seorang bangsawan atau pengusaha yang sangat kaya. Ditambah lagi berbagai macam jenis karya seni yang berserakan di lantai bekas bangunan itu.

Aku melanjutkan langkah kakiku. Kali ini aku berjalan menuju sebuah jalan besar yang berada tepat di depan bekas bangunan besar ini. Saat aku tiba di samping jalan besar tersebut, aku kembali dikejutkan dengan berbagai jenis kendaraan yang tampak membeku dengan berbagai posisi. “Apa sebenarnya yang telah terjadi?”, tanyaku dalam hati. Setiap orang yang berada pada posisiku saat ini pasti akan bertanya hal yang sama.

Semakin lama aku berjalan, aku merasa cahaya yang selama ini menemaniku semakin meredup. Lalu aku tersadar, hari akan menjelang malam. Aku harus menemukan tempat untuk berhenti sebelum malam menelanku di dalam kegelapan. Setelah berapa lama mencari, akhirnya aku menemukan sebuah gedung yang dapat dikatakan UTUH, berbeda dari bangunan lain yang kebanyakan hanya tinggal temboknya saja.

Aku memeriksa ke dalam rumah itu. Saat memeriksa bangunan tersebut aku kembali merasakan hal yang aneh, kali ini aku merasakannya di perutku. Setelah beberapa lama berfikir, akhirnya aku sadar akan sesuatu hal. “Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku memakan makanan?”, tanyaku dalam hati. Aku segera mencari ruangan yang berbentuk seperti dapur. Setelah sekian lama mencari, akhirnya aku menemukannya. Memang cukup sulit mencari ruangan ini di gedung sebesar ini.
Setiap laci, rak dan lemari ku periksa dengan seksama. Namun tidak ada tanda-tanda makanan sedikitpun. Keputusasaan melandan diriku. Diam, hanya itu yang kulakukan hingga aku mendengar suatu suara dari luar. Tanpa buang waktu aku segera menuju sebuah jendela yang berada tepat di depanku. Sekelompok orang sedang berjalan menyusuri jalan besar yang kulewati tadi. Aku sangat senang dan hampir berteriak memanggil mereka hingga sesuatu terjadi.

Sekelebat bayangan menghampiri rombongan itu, dan orang-orang mulai berteriak, suara tangisan mulai terdengar dari rombongan itu. Orang-orang mulai berhamburan entah kemana. Ada yang bertahan sambil menembakkan timah panas ke segala arah. Walau demikian, dengan semua keributan itu, perhatianku hanya tertuju pada seseorang di rombongan itu. Wajahnya tidak jelas, mungkin karena dia berdiri tepat di depan sebuah tembok yang dengan gagahnya menghalangi cahaya senja yang sudah tidak seberapa lagi untuk menerangi orang itu. Walau demikian, aku masih dapat melihat dengan jelas ketika orang itu mengangkat tangannya, sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ke arah ku, dan dengan sekejap sebuah cahaya yang sangat terang menerangi seluruh tempat itu.
Aku terhentak ke belakang, entah karena terkejut atau memang karena efek dari cahaya itu. Mataku berkunang-kunang, lalu aku tidak sadarkan diri.

Saat tersadar, aku mendengar suara orang berbicara pelan. Dia bertanya kepadaku, “Apa kamu sudah merasa baikan?”. “Ya, sudah lumyan.”, jawabku kepadanya. Setelah berbincang-bincang cukup lama, aku mengetahui nama wanita ini adalah Mery. Mery adalah wanita yang terlihat muda bila dibandingkan dengan usianya yang sudah paruh baya dan sangat meyenangkan untuk diajak mengobrol. Obrolan kami sempat terhenti saat wanita itu menanyakan namaku, yang aku sendiri tidak tahu. Namun, Mery segera memecah keheningan itu dengan berkata bahwa pria dengan wajah yang lumayan tampan dan dengan tubuh yang sangat proporsional akan sangat disayangkan bila tidak memiliki nama. Aku hanya kebingungan mendengarnya mengatakan hal tersebut. “Bagaimana jika aku memberimu sebuah nama?”, tanya Mery kepadaku. “Ya, baiklah.”, jawabku kepadanya.
Setelah berfikir agak lama, akhirnya Mery memberikanku sebuah nama. “Dan, bagaimana? Kamu menyukainya, nak?”,tanya Mery kepadaku. “Ya, baiklah aku terima itu.”, jawabku kepadanya.

Lalu Mery segera menyuruhku keluar dari ruangan tempat kami dari tadi berada. Saat di luar, aku melihat pemandangan yang sepertinya sudah lama tidak kulihat. Orang-orang berjalan di sepanjang jalan besar yang terletak tepat di depanku, melakukan aktivitasnya masing-masing. Lalu Mery memanggil orang-orang yang menurutku aneh. Mereka semua memakai baju jirah dan memegang senjatanya masing-masing. Lalu, Mery mulai berbicara kepada sekumpulan orang banyak itu. Dia memperkenalkanku kepada mereka. Mery mengatakan bahwa mungkin aku akan mendapatkan kembali ingatanku.

Aku sangat bahagia dapat bertemu dengan Mery dan teman-teman di sini. Aku sangat ingin agar ingatanku kembali. Namun, sesuatu di kegelapan sepertinya mencoba untuk memperingatkanku akan bahaya yang mengancam seiring dengan kembalinya ingatanku.

Cerpen Karangan: Pentatonix

0 komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates